Meski panas terik,
Everedy Sitorus menari bersemangat. Dua tangannya diangkat setengah dada, dan
kakinya berjinjit naik turun. Suara gendang terdengar kencang ditabuh di
pinggir jalan itu. Inilah Gordang Sembilan, musik pengiring tarian
Tor-tor. Everedy dan rekannya menarikannya di depan kantor Konsul
Jenderal Malaysia di Jalan Diponegoro, Medan, pekan lalu.
Tapi itu aksi
protes, dan bukan sebuah perayaan. Everedy dan rekannya menggugat rencana
Malaysia yang hendak mencatatkan Tor-tor sebagai tari warisan nasional
Malaysia. “Tor-tor adalah asli milik suku Batak yang telah diwariskan oleh
nenek moyang orang Batak,” ujar Everedy.
Sejak pekan lalu,
isu Tor-tor yang hendak diklaim oleh negeri tetangga itu memantik diskusi
panas. Sejumlah protes bertebar, dari wakil rakyat di DPR Senayan, sampai warga
Batak di Sumatera Utara.
Perkara itu bermula
dari sepucuk surat Persatuan Halak Mandailing di Malaysia. Mereka minta tarian
sakral Batak beserta alat musiknya itu masuk ke dalam Akta Warisan Nasional
Malaysia. Pemohonnya, juga dari keturunan Batak di Malaysia, Ramli Abdul Karim
Hasibuan. Dia juga ketua di organisasi itu.
Ramli punya alasan
kuat untuk klaim itu. Soalnya, kata dia, Tor-tor dan Gordang Sambilan adalah
juga warisan moyang mereka, orang Mandailing yang merantau sejak Indonesia dan
Malaysia belum muncul sebagai negara, 200 tahun silam.
Orang Mandailing
memang bukan pendatang baru. Abdur-Razzaq Lubis, seorang cendekiawan Mandailing
di Malaysia, dalam makalahnya "Mandailing-Batak-Malay: A People Defined
and Divided", menyebut eksodus Mandailing di Sumatera Utara ke daratan
Melayu terjadi di masa Perang Paderi, abad 19 lalu. Sebagai pengikut Paderi,
mereka direpresi kolonial Belanda sehingga terpaksa hengkang.
Awalnya, di bawah
kolonial Inggris, Mandailing dikategorikan "Melayu Asing". Lalu
menjadi "Melayu Sumatera", dan kemudian "Melayu Mandeling".
Lama-lama menjadi "Melayu" saja. Tahun 1921, istilah Mandailing
hilang, dilebur ke "Melayu". Namun istilah "Orang Aceh",
"Orang Batak" dan "Orang Jawa" tetap ada.
Jumlah orang
Mandailing itu pun lumayan besar. Pada 2004, seperti diungkapkan Lubis
dalam artikelnya yang lain, jumlah orang Mandailing di Malaysia lebih dari 30
ribu. Mereka tersebar di sejumlah negara bagian seperti Perak, Selangor, Negeri
Sembilan, dan juga Kuala Lumpur, Ibukota Malaysia.
Di Selangor,
orang-orang Mandailing ini berhasil melobi kerajaan menjadikan Gordang Sambilan
sebagai alat musik resmi kerajaan. Tahun 2001, Pesta Pulang Pinang di Penang,
secara resmi dibuka dengan Gordang Sambilan dan puncaknya, Gordang Sambilan
dimainkan di puncak Hari Kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 2002.
Itu rupanya belum
cukup. Ramli Abdul Karim Hasibuan ingin kebudayaan Mandailing ini dicatatkan
dalam Akta Warisan Nasional. Tujuannya, agar pemerintah Malaysia bisa
memberikan anggaran membantu pengembangan kebudayaan Mandailing.
Hasibuan mengaku,
sejak Desember 2011, dia telah mendiskusikan soal ini dengan masyarakat,
pejabat, dan tokoh adat Mandailing di Sumatera Utara yang mendiami Kabupaten
Mandailing Natal (Madina), Padang Sidempuan, Padang Lawas Utara (Paluta) dan
Pemerintah Kotamadya Medan.
Hasibuan meminta Malaysia
mengakui kebudayaan Mandailing khususnya Gordang Sambilan dan tarian Tor-tor
Mandailing. “Agar setaraf atau setara kebudayaan lain seperti Jawa, Minang,
Bugis, Cina, India dan lain-lain di Malaysia," kata Hasibuan dalam
keterangan tertulis ke VIVAnews pada Selasa 19 Juni 2012.
Gayung pun
bersambut. Menteri Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Rais Yatim,
yang juga berdarah Sumatera itu, memberi tanggapan.
"Insya Allah,
kami akan mengukuhkan tarian Tor-tor dan tetabuhan itu (Gordang). Seperti kami
sudah mengukuhkan Zapin, Dongdang Sayang, dan Kuda Kepang," kata dia
seperti dilansir Kantor Berita Bernama, Senin 18 Juni 2012.
“Mencuri” lagi?
Tentu, pernyataan Menteri Rais Yatim itu memantik diskusi panas di Indonesia. Malaysia dituduh mengklaim kebudayaan Indonesia. Sebelumnya, rendang Padang patennya dipegang Malaysia. Tentu, Indonesia teringat lagi iklan pariwisata Malaysia pada 2009, yang menampilkan Tari Pendet, sebuah tarian khas Bali.
Tentu, pernyataan Menteri Rais Yatim itu memantik diskusi panas di Indonesia. Malaysia dituduh mengklaim kebudayaan Indonesia. Sebelumnya, rendang Padang patennya dipegang Malaysia. Tentu, Indonesia teringat lagi iklan pariwisata Malaysia pada 2009, yang menampilkan Tari Pendet, sebuah tarian khas Bali.
Atau Batik,
yang juga menimbulkan polemik. Meskipun United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organizations (UNESCO) menyatakan batik warisan budaya Indonesia,
Malaysia ngotot melayangkan keberatan pengakuan lembaga dunia itu atas batik
Indonesia. Alasannya, corak batik Malasyia berbeda dengan Indonesia. Termasuk
segi teknik pembuatan.
Terakhir, sebelum
Tor-tor, lagu tradisional “Rasa Sayange” juga jadi buah bibir. Malaysia
berkukuh ini lagu Melayu yang diwarisi bersama oleh Indonesia dan Malaysia.
Tentu, Indonesia menolak. Soalnya, lagu itu jelas dari kepulauan Maluku. Pada
Februari 2012, tim peneliti Bandung Fe Institute bahkan merilis hasil riset
mereka. Dengan metode fisika mekanika atas nada, para peniliti itu membuktikan
lagu “Rasa Sayange” berada sangat jauh dari cabang pohon lagu-lagu Melayu yang
berkembang di Riau dan semenanjung.
Lalu, benarkah Malaysia “mencuri”
kebudayaan Indonesia?
Pengamat budaya
Melayu di Malaysia, Khalid Jaafar, menyatakan tak sepakat. Menurutnya, bagi
bangsa serumpun, wajar jika ada kemiripan sejumlah warisan budaya. “Kemiripan
yang ada tidak perlu menjadi perkara yang diributkan,” kata Khalid kepada VIVAnews,
pekan lalu.
Dalam kasus tari
Tor-tor, kata Khalid, Malaysia sebetulnya tidak melakukan klaim. Justru,
Malaysia hendak mengakui suku Mandailing yang membawa kesenian itu. “Ini usaha
kami untuk menginklusikan mereka sebagai bagian dari masyarakat Malaysia,
karena mereka tinggal di negara kami,” Khalid menambahkan.
Dosen Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara, Irwansyah, berpendapat, soal pencatatan itu
tak usah dipersoalkan. “Itu hal wajar saja. Ada permintaan dari warga
Mandailing yang lama menetap bahkan menjadi warga negara Malaysia untuk
kebudayaan mereka dilangsungkan di negaranya," ujar Irwansyah.
Dia justru melihat
itu sebagai sebuah kebanggaan bagi Indonesia. “Sama halnya Barongsai China
dikenal di berbagai negara. Soalnya, orang China menjadi warga negaranya
mengembankan kesenian daerah itu ke negara tempat perantauan mereka.”
Budayawan cum
sejarawan Sumatera utara, Sultan Saragih, sulit menyalahkan Malaysia soal
pencatatan Tor-tor ini. “Itu permintaan etnis Batak Mandailing yang sudah
menjadi warga negara Malaysia sejak dulu. Itu hak mereka, karena mereka memang
berdarah Batak, tentunya suku tak pernah bisa hilang meskipun berbeda
negara," ujarnya.
Sultan justru
mempertanyakan balik pemerintah Indonesia. Pemerintah, kata dia, tak
memperkenalkan ribuan budaya dan kesenian Indonesia kepada masyarakat. “Ketika
negara lain mengklaim, saat itu juga kita sibuk mengklarifikasi," ujar
pewaris dan guru tarian adat Batak Simalungun itu.
Meski terkesan
terlambat, Pemerintah Daerah Sumatera Utara mencoba bereaksi. Semua kabupaten
di propinsi tu diminta mendata seluruh kebudayaan mereka. "Ini
mengantisipasi kemungkinan akan diklaim oleh negara tetangga," ujar Pelaksana
Tugas Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, di Medan, Selasa 19
Juni 2012.
Truly Asia
Malaysia harus diakui jauh lebih agresif dalam soal budaya ini. Misalkan pada acara Shanghai World Expo 2010 dua tahun silam, paviliun mereka justru mirip Rumah Gadang dari adat Minangkabau, Sumatera Barat. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, yang sempat melihatnya, sempat terhenyak.
Malaysia harus diakui jauh lebih agresif dalam soal budaya ini. Misalkan pada acara Shanghai World Expo 2010 dua tahun silam, paviliun mereka justru mirip Rumah Gadang dari adat Minangkabau, Sumatera Barat. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, yang sempat melihatnya, sempat terhenyak.
"Rumah Minang
dari mana? Tentu asalnya dari Sumatera Barat, Indonesia,” kata Hatta waktu itu.
Hatta tampaknya berpikir positif. Soalnya, para perantau Minang memang banyak
di Malaysia.
Tapi Malaysia tak
berpikir selurus Menteri Hatta. Di situs resmi Shanghai World Expo itu
disebutkan begini: “Inspirasi desain paviliun datang dari rumah tradisional
Malaysia, mengekspresikan gaya unik dan semangat persatuan nasional. Bangunan
memiliki dua gonjong melancip dengan persilangan di atas, simbol arsitektur
Malaysia.”
Lalu, apa sebetulnya motif klaim
itu?
Pengacara kondang
Malaysia, Shahrir Samad, mengatakan Malaysia hanya inventarisasi budaya yang
ada di negerinya. “Kami juga melakukan hal sama terhadap tarian, makanan, dan perayaan
dari India dan China. Kami mencatat budaya mereka, namun tidak mengklaim bahwa
itu budaya Malaysia," kata Shahrir saat dihubungi VIVAnews, Rabu 20
Juni 2012.
Menurut Shahrir,
inventarisasi budaya adalah program penting Kementerian Kebudayaan Malaysia.
Setiap produk budaya, baik itu tarian, makanan, atau alat musik, pasti tercatat
bersama tempat asal mereka. Misalnya, Festival Musim Semi yang menjadi perayaan
tahunan di China, pasti dicatat sebagai produk budaya China, bukan Malaysia.
Pengakuan atas kebudayaan
ini justru membawa keuntungan bagi negara tempat budaya itu berasal. Sebab,
mereka jadi bisa lebih dikenal dan dipentaskan di depan umum. "Sementara
dari sisi Malaysia, ini bisa jadi merupakan cara efektif untuk mempromosikan
turisme Malaysia."
Tampaknya, ini
semacam “politik kebudayaan” Malaysia, yang dengannya memberikan keuntungan
bagi industri pariwiasata. Lihatlah slogan 'Malaysia Truly Asia'. Dengan
promosi aneka budaya Asia di negeri mereka, Malaysia sukses menggenjot bisnis
turisme. Keberagaman budaya, ras, dan agama, yang sebetulnya juga ada di
Indonesia menjadi paket yang menjual di sana.
Para pelancong pun
deras berdatangan ke negeri jiran. Data World Economic Forum 2011, mencatat
turis mancanegara yang berkunjung ke Malaysia itu ada 24 juta orang. Yang
singgah ke Indonesia cuma 7 juta orang. Untuk dibandingkan, pertama kali
mengusung “Truly Asia” pada tahun 1999, turis ke Malaysia baru 7,4 juta.
Itu sebabnya, World Economic Forum (WEF) memberikan gelar kepada Malaysia sebagai negara dengan pertumbuhan pariwisata terbaik di Asia Pasifik. Dari kantong pelancong asing, negara “Truly Asia” ini merogoh duit miliaran ringgit Malaysia.
Pada 2000, dari sektor
turisme negara meraup RM17,3 miliar. Lebih satu dekade kemudian, pada 2011,
ringgit mengalir RM58,3 miliar, atau setara Rp173 triliun. Turisme pun menjadi
salah satu tiang ekonomi Malaysia, di samping minyak bumi, kelapa sawit, karet
alam, dan kayu. Dia juga menjadi penolong, saat negeri itu ditiup badai krisis
moneter global 2008.
Salah satu rahasia
sukses itu adalah Undang-undang Warisan Nasional Malaysia. Dengan UU ini,
Malaysia menyiapkan anggaran khusus bagi aneka budaya yang diakui, dan dicatat
sebagai warisan nasional. Inilah celah yang ingin dikejar Persatuan Halak
Mandailing Malaysia itu: dana agar budaya mereka bisa terus hidup.
Cara Malaysia itu
dikritik Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto
Juwana. Menurutnya, tindakan Malaysia itu sebagai provokatif dan agresif
di bidang kebudayaan terhadap Indonesia. Masyarakat asal Mandailing, kata
Hikmawanto, bisa saja mempraktikkan budaya mereka. “Tapi jangan sampai Malaysia
memformalkannya sebagai milik negara itu,” ujarnya.
Di Indonesia,
Hikmawanto memberi contoh, komunitas China Indonesia bebas mengekspresikan
budayanya semisal tarian Barongsay. “Tapi pemerintah Indonesia tidak
memformalkan sebagai miliknya".
0 komentar:
Posting Komentar